Pages

Friday, February 28, 2014

Lagi-Lagi Gegara Dowry

Tulisan ini tidak panjang, sebab saya tidak bisa memejamkan mata malam ini maka saya rasa ini adalah hal paling produktif yang bisa saya lakukan selain menonton film.

siang tadi, selepas pulang kuliah, tidak biasanya, seorang teman saya, sebut saja namanya Prasad (haha, ini nama aslinya kok, saya agak lemot dalam hal karang mengarang nama), atau lebih mudahnya kita panggil saja teman saya dengan panggilan "P" biar lebih hemat.

Untuk kali pertama saya menyelesaikan praktikum organik lebih cepat dari yang lain dan tentunya pulang lebih cepat. di india ini tidak ada sistem saling tunggu, yang cepat maka dia bisa pulang duluan, setelah di absen tentunya..
Nah, kebetulan si P ini selalu ramah sekali menanyakan pada saya, "Everything's ok Mar? Do u need a help?bla..blaa..bla.. do u need a measuring jar? ok wait, i will take it for u" dst. si P ini memang baik dan ramah kepada siapa saja.

...?

Kau dan aku ialah satu jiwa; hanya saja sedang berdiam di jasad berbeda. Kau dan aku ruh yang mesra, sebab Allah yang mengenalkannya. Ibn Hayyan


Tangan Panas is just a Fake

“Wanita itu indah seperti bunga” terang teman saya.
“Kalau bunga bangkai? Atau bunga kuburan? Kamu mau?”, ejek saya padanya.
“Ya itu kan perumpamaan. Bunga mawar misalnya atau bunga kamboja”, jelasnya sekali lagi.

Bagi saya, bunga justru menyimpan banyak misteri. Menjadi indah dan menebar harum sekehendaknya adalah takdir bunga. Banyak sekali orang tersihir karenanya, tanpa tahu ternyata bunga menyimpan duri tajam yang menipu. Saat hendak memetiknya, orang akan menyadari ternyata tertusuk duri amat sakit. Sakit...--! (eh tolong ya Mar, FOKUS!).

Oh ya, saya punya pengalaman menarik tentang bunga. Saya menyukai bunga, tetapi bunga sepertinya tidak menyukai saya. Yah, 11-12 lah sama cinta yang bertepuk sebelah kaki.

Saya Berharapnya...

Assalamualaikum wr wb.
Sore ini saya terjebak di sebuah kebun bunga kecil di lantai 3 tepat dimana saya sering duduk sendiri dan memandang bintang. Tidak terjebak sih, tetapi memang menjebakkan diri. Cukup sendiri saja. Sebab kita perlu sendiri untuk bisa menelisik rasa, bukan? Sendiri untuk bisa memaknai mengapa kita harus memahami kita. Memahami untuk apa kita dan siapa kita lalu jadi apa kita setelahnya. Sendiri terkadang dimaknai personal oleh teman saya sebagai manisfestasi rasa galau di luar koridor. Namun menurut saya, justru pada “sendiri”lah seseorang dapat melahirkan karya-karya besar. Dan bagi saya? Mungkin tepatnya, benar kata teman saya tadi: “sendiri adalah kau yang suka bermain-main pada perasaanmu” . *tsah elah, mau ngomong galau aja susah bener*.

Un-Named Prince (in my heart)

            Pangeran saya yang satu ini memang tiada bandingnya. Ia yang amat murah senyum dan baik hati ini, sesungguhnya tidak berasal dari orang yang amat berada. Namun kebesaran hatinya menunjukkan bahwa ia memiliki segalanya. Mensyukuri apa yang ada dan terus berusaha menjadi lebih baik pernah disampaikannya. “Kalau tidak bisa bermanfaat bagi orang lain, setidaknya jangan menyusahkan”. Begitu pesannya.
Baginya, memenuhi segala kebutuhan saya adalah sebuah kewajiban. Ia tidak gampang marah, tapi jangan pancing kemarahannya, justru akan membuatmu menangis tersedu-sedu tanpa henti.

            Dialah yang mengenalkan saya pada sebuah jendela, jendela ilmu. Buku selalu ia hadiahkan pada saya. Bahkan ibu saya sekalipun, yang tidak pernah melarang saya pergi kemanapun, namun pria yang satu ini justru berkata, “Perempuan itu ga baik jalan jauh-jauh sendirian”. Begitu ungkapnya. Dulu, ia selalu cemas kalau saya tidak berada di rumah saat makan siang. Selalu ditanyanya, “Si adek mana?”. Saya yang begajulan ternyata sedang bermain-main di sawah mencari ikan atau merusak ladang orang -_-.