Ini tentang sarkasme.
Dan saya adalah orang yang berada
dalam barisan garis keras penolak sarkasme. Bagi saya yang “anti mainstream” dan anti
kekerasan fisik maupun oral (ini ngomong apa sih?), pilihan diskusi adalah
metode terbaik mengambil sebuah keputusan. Sejak alam lahir, saya paling
membenci kata “dicuekin”, lebih baik dimarahi habis-habisan daripada didiamkan,
disapa-pun tidak. Saya jadi serba salah. Sebab itu, teman-teman saya kalau
sedang “ingin diam” terkait mungkin ada masalah pribadi dan sebagainya, mereka
sering berkata, “Tenang, aku ga apa-apa. Ini ga ada kaitannya samamu”. Maka
saya pun bisa paham. Artinya begini, saya bisa menerima saat seseorang membutuhkan
kesendirian. Terkadang memang ada hal-hal yang tidak bisa kita ceritakan pada
orang lain dan memaksa kita merenungkan serta memikirkan jalan keluar itu
sendiri.
Oke, sampai disini, saya masih bisa menerima semuanya dengan baik.
Kita (saya sih ya) tidak punya hak menuntut orang lain menceritakan segala
masalahnya, tapi menurut saya, kewajiban sebagai (setidaknya) teman yang baik
adalah senantiasa mendoakan agar masalah-masalah yang ia hadapi bisa
terselesaikan dengan baik.
Saya
masih mengingat saat teman saya “menggoda” saya dengan cara: ngumpetin kotak
pensil, merobek buku, ngumpetin tas saya (?), menginjak kaki saya (dengan
sengaja), lalu mereka berkata, “Mar, sebenarnya aku mau membuatmu marah, kenapa
ga marah sih. Aku pengen liat kamu marah?”. Haha, karena saya tahu kalian cuma main-main,
mana mungkin saya marah.
Saya mah bukan tidak pernah
marah, tapi kalau marah saya lebih memilih diam, berwudhu kemudian tidur (tidak
tidur sih, sebenarnya menenangkan diri dan meredakan perasaan beberapa saat),
paling maksimal, menangis. Sebenarnya saat itu saya sedang menahan emosi untuk
tidak mengeluarkan kata-kata “kasar” yang tentunya bisa merugikan saya dan
merugikan orang lain. Sebab kalau sedang marah lalu kemudian saya berbicara,
saya sendiri ngeri mendengar kata-kata yang mampu saya ucapkan. Haha, emosi
terkadang membuatmu menjadi bukan dirimu atau sebaliknya, menunjukkan siapa
dirimu sebenarnya. Lalu setelah tenang dan tidak emosi, barulah saya bertanya
baik-baik dan mandiskusikan apa yang sebenarnya menjadi masalah. Dalam keadaan
emosi, otak tidak mampu berfikir jernih dan lurus. Jangankan menyelesaikan
masalah, yang ada menambah besar masalah.
Karena,
pernah suatu ketika, saat itu saya yang sedang dalam keadaan damai dan tentram
lalu Ibu saya menelpon bahwa seseorang mengatakan “ini dan itu” sambil sedikit
terisak. Ah, saya paling benci ada orang lain menyakiti ibu saya, akan lebih
baik gorok saja leher saya daripada mendengar orang lain berkata kasar pada ibu
saya (yah, sekalipun saya sendiri pernah berbeda pendapat dengan ibu saya dan
es-ke-te-an, merajuk paling lama 1 hari :D). Tanpa pikir panjang, kemudian saya
menelpon orang tersebut, dan berbicara dalam keadaan emosi tingkat maha. Dan
mampu membuat lelaki yang saya telepon itu terdiam, tak berkutik serta memohon
maaf. Padahal suara saya datar biasa saja, tapi kata teman saya mendengar saat
itu, “kata-katamu itu datar, dewasa, tapi menusuk”.
Se-emosi2nya saya,
alhamdulillah saya selalu menjaga untuk tidak mengatakan kata-kata kotor atau
menyebut satu persatu anggota kebun binatang. Ah, tapi ya, saya jarang sekali
marah lalu mengumpat-ngumpat seperti yang sering kita tonton di Sinetron. Sinetron
benar-benar tidak mendidik. Tapi kalau ngomel sih saya sering, apalagi kalau
adik saya suka mencampakkan baju kotor seenak udelnya atau abang saya yang suka
rese’, membuat kacau tempat tidur yang baru saja saya rapikan. Artinya begini,
bagi saya, ngomel dan marah adalah hal yang berbeda. Hahaha... Ngomel itu
alamiah.
Nah,
terkait sarkasme (cih.. -_-), saya paling tidak bisa menerima ini. Cukup
bicarakan secara langsung tanpa harus menyindir-nyindir dengan tingkah polah
yang terkadang jauh sekali dengan permasalahan yang ada. Bentuk sindiran yang
tidak tepat malah bukan membuat seseorang semakin sadar, yang ada hanya akan
memunculkan pikiran-pikiran yang tidak sehat dan membangun logika-logika “yang
seakan benar (padahal tidak)” dan justru memperkeruh keadaan. Hemat saya, apa
sih susahnya mengatakan secara langsung?
Seperti
saya dan room-mate, banyak hal-hal yang kami sepakati agar kami sama-sama
nyaman tinggal 1 rumah. Jika ada yang salah atau melanggar kesepakatan, yang
lain harus mengingatkan, bukan memarahi. Yah, manusia kan sering khilaf ya?
Mengingatkan kalau minggu ini yang membuang sampah giliran siapa, yang
membersihkan kamar mandi, kalau membersihkan tempat tidur harus mengibaskannya
ke arahmana, kalau selesai makan atau memasak agar segera mencuci piringnya
sendiri, hingga hal-hal yang kecil misalnya selepas minum, letakkan gelas di
tempatnya agar tidak tertendang oleh saya yang lasak ini. Dan hal itu kami
bicarakan baik-baik tanpa ada yang tersakiti. Maka saya sangat heran pada orang
yang dalam 1 rumah bahkan tidak bisa me-manage
perkara yang sebegini kecil sih, tapi kalau berlarut-larut, siapa juga yang
tahan. -_-
Dan bahkan kami sepakat, kalau
ada yang tidak beres atau tidak melakukan fungsinya dengan baik, maka kewajiban
salah satunya adalah mengingatkan. Bukankah itu justru mengajarkan kita untuk
dapat berkomunikasi dengan baik dan menegur dengan sopan?
Oh ya, aduh, saya lapar, udahan
dulu ya (saya kalau lapar ga bisa ditunda) *ending yang memilukan*.
No comments:
Post a Comment