Pages

Thursday, May 22, 2014

Labilisasi kriminalisasi emosi-isme.

Ini tentang sarkasme.
Dan saya adalah orang yang berada dalam barisan garis keras penolak sarkasme.  Bagi saya yang “anti mainstream” dan anti kekerasan fisik maupun oral (ini ngomong apa sih?), pilihan diskusi adalah metode terbaik mengambil sebuah keputusan. Sejak alam lahir, saya paling membenci kata “dicuekin”, lebih baik dimarahi habis-habisan daripada didiamkan, disapa-pun tidak. Saya jadi serba salah. Sebab itu, teman-teman saya kalau sedang “ingin diam” terkait mungkin ada masalah pribadi dan sebagainya, mereka sering berkata, “Tenang, aku ga apa-apa. Ini ga ada kaitannya samamu”. Maka saya pun bisa paham. Artinya begini, saya bisa menerima saat seseorang membutuhkan kesendirian. Terkadang memang ada hal-hal yang tidak bisa kita ceritakan pada orang lain dan memaksa kita merenungkan serta memikirkan jalan keluar itu sendiri. 

           Oke, sampai disini, saya masih bisa menerima semuanya dengan baik. Kita (saya sih ya) tidak punya hak menuntut orang lain menceritakan segala masalahnya, tapi menurut saya, kewajiban sebagai (setidaknya) teman yang baik adalah senantiasa mendoakan agar masalah-masalah yang ia hadapi bisa terselesaikan dengan baik.

                Saya masih mengingat saat teman saya “menggoda” saya dengan cara: ngumpetin kotak pensil, merobek buku, ngumpetin tas saya (?), menginjak kaki saya (dengan sengaja), lalu mereka berkata, “Mar, sebenarnya aku mau membuatmu marah, kenapa ga marah sih. Aku pengen liat kamu marah?”. Haha, karena saya tahu kalian cuma main-main, mana mungkin saya marah.

Saya mah bukan tidak pernah marah, tapi kalau marah saya lebih memilih diam, berwudhu kemudian tidur (tidak tidur sih, sebenarnya menenangkan diri dan meredakan perasaan beberapa saat), paling maksimal, menangis. Sebenarnya saat itu saya sedang menahan emosi untuk tidak mengeluarkan kata-kata “kasar” yang tentunya bisa merugikan saya dan merugikan orang lain. Sebab kalau sedang marah lalu kemudian saya berbicara, saya sendiri ngeri mendengar kata-kata yang mampu saya ucapkan. Haha, emosi terkadang membuatmu menjadi bukan dirimu atau sebaliknya, menunjukkan siapa dirimu sebenarnya. Lalu setelah tenang dan tidak emosi, barulah saya bertanya baik-baik dan mandiskusikan apa yang sebenarnya menjadi masalah. Dalam keadaan emosi, otak tidak mampu berfikir jernih dan lurus. Jangankan menyelesaikan masalah, yang ada menambah besar masalah.

                Karena, pernah suatu ketika, saat itu saya yang sedang dalam keadaan damai dan tentram lalu Ibu saya menelpon bahwa seseorang mengatakan “ini dan itu” sambil sedikit terisak. Ah, saya paling benci ada orang lain menyakiti ibu saya, akan lebih baik gorok saja leher saya daripada mendengar orang lain berkata kasar pada ibu saya (yah, sekalipun saya sendiri pernah berbeda pendapat dengan ibu saya dan es-ke-te-an, merajuk paling lama 1 hari :D). Tanpa pikir panjang, kemudian saya menelpon orang tersebut, dan berbicara dalam keadaan emosi tingkat maha. Dan mampu membuat lelaki yang saya telepon itu terdiam, tak berkutik serta memohon maaf. Padahal suara saya datar biasa saja, tapi kata teman saya mendengar saat itu, “kata-katamu itu datar, dewasa, tapi menusuk”. 

Se-emosi2nya saya, alhamdulillah saya selalu menjaga untuk tidak mengatakan kata-kata kotor atau menyebut satu persatu anggota kebun binatang. Ah, tapi ya, saya jarang sekali marah lalu mengumpat-ngumpat seperti yang sering kita tonton di Sinetron. Sinetron benar-benar tidak mendidik. Tapi kalau ngomel sih saya sering, apalagi kalau adik saya suka mencampakkan baju kotor seenak udelnya atau abang saya yang suka rese’, membuat kacau tempat tidur yang baru saja saya rapikan. Artinya begini, bagi saya, ngomel dan marah adalah hal yang berbeda. Hahaha... Ngomel itu alamiah.

                Nah, terkait sarkasme (cih.. -_-), saya paling tidak bisa menerima ini. Cukup bicarakan secara langsung tanpa harus menyindir-nyindir dengan tingkah polah yang terkadang jauh sekali dengan permasalahan yang ada. Bentuk sindiran yang tidak tepat malah bukan membuat seseorang semakin sadar, yang ada hanya akan memunculkan pikiran-pikiran yang tidak sehat dan membangun logika-logika “yang seakan benar (padahal tidak)” dan justru memperkeruh keadaan. Hemat saya, apa sih susahnya mengatakan secara langsung?

                Seperti saya dan room-mate, banyak hal-hal yang kami sepakati agar kami sama-sama nyaman tinggal 1 rumah. Jika ada yang salah atau melanggar kesepakatan, yang lain harus mengingatkan, bukan memarahi. Yah, manusia kan sering khilaf ya? Mengingatkan kalau minggu ini yang membuang sampah giliran siapa, yang membersihkan kamar mandi, kalau membersihkan tempat tidur harus mengibaskannya ke arahmana, kalau selesai makan atau memasak agar segera mencuci piringnya sendiri, hingga hal-hal yang kecil misalnya selepas minum, letakkan gelas di tempatnya agar tidak tertendang oleh saya yang lasak ini. Dan hal itu kami bicarakan baik-baik tanpa ada yang tersakiti. Maka saya sangat heran pada orang yang dalam 1 rumah bahkan tidak bisa me-manage perkara yang sebegini kecil sih, tapi kalau berlarut-larut, siapa juga yang tahan. -_-

Dan bahkan kami sepakat, kalau ada yang tidak beres atau tidak melakukan fungsinya dengan baik, maka kewajiban salah satunya adalah mengingatkan. Bukankah itu justru mengajarkan kita untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan menegur dengan sopan?
Oh ya, aduh, saya lapar, udahan dulu ya (saya kalau lapar ga bisa ditunda) *ending yang memilukan*.
                

No comments: