Pages

Sunday, April 12, 2015

Teori Memaklumi atau Menghargai?


Nulis apa?
nulis apa?

nulis apa?


Aha, ya,umm...jika ada pertanyaan seperti ini, "Apakah sesuatu yang tidak kamu suka lalu serta merta suatu saat, jika sudah terbiasa, kamu akan bisa menyukainya?"

Rumit ya, terkadang menjawab sesuatu yang berkaitan dengan suka-tidak suka, benci-tidak benci adalah hal yang abstrak. "Pemakluman", begitu bahasanya. Dalam hal ini, apakah (katakan saja) "sipenanya" dituntut memaklumi hal-hal yang tidak disukainya.
      "Maklumi saja, nanti kamu terbiasa kok"

Ohoo... "meminta dimaklumi" itu (setidaknya bagi saya) adalah pernyataan rendah untuk orang-orang yang tidak mampu diajak bekerjasama, untuk orang-orang yang sebenarnya tidak disuka tetapi masih dibutuhkan, untuk orang2 yang tidak mau mendengar kritik orang lain terhadap dirinya.
     "Yah, maklumi saja, dia memang seperti itu"

Bagi saya, kata "memaklumi" mengandung makna yang luas. Apa ya? Begini logikanya,

Rangga tidak suka pete dan jengkol, tetapi Rangga heran pada Cinta (istrinya) mengapa suka sekali menghidangkan pete dan jengkol. Rangga sudah berulangkali mengatakan pada Cinta, "Cin (lha, kok jadi seperti banci? Cyiiin...(?)), saya tidak suka dengan makanan ini, bisakah menghidangkan menu yang lain?". Beberapa kali juga Cinta menjelaskan pada Rangga, "Maafkan saya, saya ini terbiasa hidup dan makan dengan menu seperti ini, jadi hanya ini yang bisa saya masak. Karena aku sendiri TIDAK YAKIN aku bisa memasak masakan yang lain. Kamu harus memaklumi hal ini. Aku yakin lama kelamaan kamu akan terbiasa dan menyukainya. Maaf ya."

Lalu pertanyaannya, apakah lantas Rangga harus mengikuti Cinta untuk ikut-ikutan makan pete dan jengkol sekalipun Rangga tidak suka? Tiap kali melihat pete dan jengkol, Rangga merasa sedih dan ingin membuangnya. Namun, berdasarkan "teori pemakluman" yg kita jelaskan diatas, Rangga semestinya harus maklum pada pete dan jengkol yang dihidangkan Cinta. Dengan konsekuensi, rasa dongkol dan marah Rangga pada tiap kali Cinta menghidangkan makanan. Karena yang saya katakan tadi, rasa tidak suka tidak bisa dipaksakan. Rasa dongkol, marah, kesal atau apapun namanya yang tertimbun dalam hati Rangga, suatu saat akan meledak dan berkata, "AKU MUAK!!! Cari saja orang lain yang bisa kamu jejali dengan makanan seperti ini. Aku tidak bisa!". 

Ego sekali, bukan?
Kita tidak berhak sama sekali menghakimi rasa seseorang. Memaksa orang lain memaklumi sikap (atau apapun itu namanya) dari diri kita dan menyuruh orang lain membiasa terhadap apa yang tidak disukainya, menghadapkan "istighfar" pada orang lain tiap kali berhadapan dengan "sesuatu" itu. Apakah itu bisa dikatakan adil? Kita sama-sama sepakat bahwa segala sesuatu bisa berubah asal kita sungguh2 berusaha. Bukankah seperti itu? Dalam cerita diatas, kita melihat bahwa Cinta memiliki kesempatan yang besar untuk bisa belajar memasak dengan baik. Hanya saja ia tidak mau. Jika Cinta saja tidak mau mengubah dirinya, bagaimana mungkin Rangga bisa menghargai?

Akan berbeda halnya jika kita ganti ending cerita diatas kita beri pada sebuah kesimpulan yang lebih baik. Dengan dialog Cinta seperti ini, "Maafkan saya,  saya ini terbiasa hidup dan makan dengan menu seperti ini, jadi hanya ini yang bisa saya masak. Tetapi jika memang kamu tidak menyukainya, baiklah saya akan belajar untuk memasak lebih baik, asalkan kamu mau menunggu. Yang jelas, saya butuh waktu untuk menjadi lebih baik."

Fine. Bagaimana? Ini yang saya katakan sebagai sikap "Saling menghargai". Rangga dengan terang dan jelas menyatakan rasa tidak sukanya pada pete dan jengkol lalu meminta Cinta untuk belajar dengan baik jenis masakan lain yang sama sama mereka sukai. Yang Rangga bisa memakannya dan Cinta juga menyukainya.Saling bekerjasama agar keduanya bisa saling memberi rasa bahagia. Kata kuncinya adalah -belajar dan menunggu-. Cinta belajar memasak dengan baik dan Rangga rela menunggu dengan sabar. Keduanya saling berusaha.

Lalu... 
Cerita Cinta dan Rangga hanyalah ilusi saya saja, anggap saja perumpamaan. Pete dan Jengkol bisa diumpamakan menjadi apapun, sikap, sifat, perangai ataupun perkataan kita kepada orang lain. Dulu, saat saya menjadi anak kost bahkan sampai sekarang, saya akan bertanya pada teman saya, "Aku terbiasa melakukan hal seperti ini.Apa kamu suka kalau aku bertindak seperti ini?". Atau semisal saya tidak terbiasa tidur dengan kamar yang gelap gulita ternyata mendapatkan teman sekamar yang hanya bisa tidur jika lampu dimatikan. Menjadi masalah sekali bagi saya dan dia tentunya. Namun kita sama2 bersepakat mematikan lampu kamar tetapi membiarkan lampu ruang tengah tetap hidup agar cahaya tetap bisa masuk sedikit.

Dalam hidup, memang terkadang kita dituntut menjadi pribadi yang menyenangkan. Saya fikir itu tidak menjadi masalah selama yang dituntut adalah pribadi yang mengarah pada kebaikan. Kebaikan sikap, kebaikan sifat, tindakan maupun perkataan. Bukankah membahagiakan orang lain adalah perbuatan yang berpahala? Apalagi jika kita tilik dari kisah diatas dimana Cinta dan Rangga yang notabenenya adalah sepasang suami istri. Akan besar sekali pahalanya, bukan?

Lha? saya sudah bercerita panjang sekali... yang inti tulisannya sampai saya lupa.
Intinya adalah, apapun jenis atau namanya, kita tidak berhak menuntut orang lain untuk menyukai atau memaklumi sifat buruk kita. Kita juga yang mestinya belajar memahami dan menghargai orang lain. Bagi saya, cukuplah sekali saja saya mengatakan, "Aku tidak suka kamu memperlakukan aku seperti itu". Jika berulang-ulang lama lama saya juga bisa muak. Saya membenci marah. Jika marah, saya bisa mengeluarkan kata2 yang kasar. Maka, diam mungkin adalah cara terbaik. Entah sampai kapan.

Namun peliknya, terkadang kita berhadapan dengan orang yang hidup tanpa rasa peka. :)

No comments: